Lombok Tengah – Direktur Utama (Dirut) RSUD Praya, dr Mamang Bagiansah mengklarifikasi terkait pelaporan Harta Buan Andani ke Polres Lombok Tengah. Ia mengaku pihak rumah sakit mengetahui tentang UU ITE.
“Mengenai langkah yang kami lakukan, semata untuk menyatakan bahwa kami di RSUD Praya, tidak soal saya saja, tapi soal banyak staf kami yang lain, nakes maupun non nakes yang tercederai oleh narasi yang digunakan dalam saran kritik di medsos tersebut.” Ungkap dr Mamang melalui pesan WhatsApp, Rabu 20/3/24.
“Siapa yang tidak sakit hatinya ketika disebut demikian? Boleh ada yang bilang dia ga sebut tenaga kesehatan, dia hanya sebut pelayanan di RSUD Praya. Tapi siapa pemberi pelayanan itu kalau bukan kami, yang juga manusia, bukan anjin*, lebih lebih seta*.” Gumam dr Mamang.
Ia selaku Dirut Rumah sakit mengklaim bahwa pihaknya sudah berusaha melayani masyarakat dengan semaksimal mungkin.
“Berembe idap pelungguh mbak lamun segale tan edert uwah berbuat demi melayani masyarakat, tapi dikata-katai demikian?” Tanya dia.
“Kami sudah sampaikan bahwa kami tidak anti kritik. Silakan. Sepedas apapun. Kami dengan terbuka menerima. Karena kami memang sadar, RSUD Praya sedang kami benahi. Masih jauh dari sempurna. Tapi haruskah dengan kata kata seperti itu? Tunas?” Timpalnya lagi.
Dia menekankan bahwa pelaporan ini merupakan upaya sebagai efek jera saja, agar tidak menggunakan kata kotor dalam menyampaikan kritik.
“Jadi langkah kami melaporkan, semata mata untuk memberi tahu, bahwa kami juga bisa bersikap, kami manusia manusia pelayan pelungguh sami jangan seenaknya nyumpah serapah. Sebagai pelajaran untuk kita semua, tiang pelungguh sami.” Ujarnya.
Di lain sisi, dikatakan dr Mamang, sebagai warga negara pihaknya berhak melakukan upaya hukum dalam menyikapi hal tersebut. Meskipun tidak dilihat dari sudut pandang UU ITE.
“Kami ndak baca kitab UU ITE atau apapun, tapi kami juga warga negara yang sama-sama punya hak untuk menyatakan sikap.” Ujarnya.
Dia pun telah mencermati pasal dalam UU ITE tentang pencemaran nama baik (pasal 27 ayat (3) tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP, sehingga norma dasar penghinaan dalam UU ITE mengikuti norma dalam KUHP (pasal 310).
“Betul memang, bahwa dalam norma penghinaan tersebut dirumuskan tentang siapa subjek hukum (_addressaat norm_) atau sasaran yang sebenarnya dituju oleh suatu norma hukum tentang suatu tindak pidana. Addressaat norm Pasal 310 KUHP dapat diketahui dari bunyi pasal “barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”. Barang siapa (_hij die_) dalam KUHP merujuk kepada orang perseorangan dan yang diserang pun nama baik orang, sehingga baik Pasal 310 KUHP maupun Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya bisa ditujukan kepada manusia sebagai subjek hukum (_natuurlijk persoon_) dan tidak ditujukan kepada badan hukum (_rechts persoon_).” Jelasnya.
Tetapi sambung dr Mamang, bukan berarti kekosongan norma tersebut mengakibatkan pelaku penghinaan terhadap badan hukum tidak bisa dipidana, karena ada asas _curia novit jus_ atau _ius curia novit_ berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.
“Prinsip ini terkandung dalam Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 yakni pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Jelasnya kembali.
Terkait ini, sudah terdapat yurisprudensi kasus pencemaran nama baik terhadap badan hukum yaitu dalam Putusan MA No. 183 K/Pid/2010. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa badan hukum bisa menjadi objek pencemaran nama baik.
“Putusan MA ini juga menjelaskan bahwa untuk melaporkan adanya tindak pidana pencemaran nama baik yang ditujukan kepada badan hukum, yang wajib melaporkan tindak pidana tersebut adalah Direktur Utama yang dapat mewakili suatu PT.” Terangnya.
“Tapi, ampure niki kalau kita mau terus lanjutkan prosesnya.Nenten araq niat kami utk sampai memproses niki sampai pengadilan segala, tiang.” Sambung dia.
Sekali lagi lanjut dia, niki sekedar untuk sama-sama belajar. Tolong lebih bijak dalam penggunaan media sosial, khususnya ketika memberi kritik saran kepada seseorang/lembaga/badan hukum.
“Lebih-lebih kita niki sesama muslim. Apa lagi niki dalam suasana Bulan Ramadhan.” Imbuhnya.
Ada petunjuk Allah SWT dan Nabi SAW mengenai cara memberi kritik katanya , salah satunya harus dengan lembut dan santun. Karena kelembutan dan kesantunan di setiap perkara akan menghiasi dan memudahkan.
“Benar, terkadang di beberapa kondisi dan untuk beberapa orang, kita perlu sikap tegas sebagaimana yang dipraktekkan ulama salaf. Akan tetapi, bersikap lembut adalah hukum asal dalam membantah dan mengritik, apalagi pihak yang dibantah merupakan seorang tokoh/lembaga yang memiliki pengikut, atau memiliki peluang besar untuk rujuk kepada kebenaran.” Tuturnya.
“Cukuplah firman Allah bagi kita dalam hal ini, tatkala mengutus Musa dan Harun kepada Fir’aun, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha: 44). Kepada Fir’aun saja Nabi Musa dan Harun masih diperintahkan Allah untuk menyampaikan peringatan secara lemah lembut.” Pungkas dr Mamang.