Lombok Barat – Bukan perang biasa. Tradisi unik ini justru merupakan simbol kerukunan umat beragama di pulau Lombok.
Kerap dijuluki sebagai pulau seribu masjid dengan penduduk mayoritas Islam, masyarakat Sasak di pulau Lombok tetap memegang tradisi.
Salah satu tradisi unik yang masih terjaga dengan baik adalah ritual Perang Topat yang digelar setiap tahun di pura Lingsar, Desa Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
Dalam ritual ini, masyarakat Islam dan Hindu akan berperang, saling lempar menggunakan ketupat kecil dan jajanan lainnya yang telah disiapkan oleh para pemangku adat.
Menariknya, meskipun berupa perang, tujuan dari ritual adat ini bukanlah untuk saling menyakiti, melainkan sebagai perekat tali persaudaraan dua suku yang berlainan budaya, keyakinan dan agama, yaitu Sasak dan Bali.
ASAL USUL PERANG TOPAT
Menurut legenda yang dituturkan oleh masyarakat setempat, perang topat pertama kali digelar sebagai bentuk penghormatan kepada Datu Tuan Raden Sumilir yang berkat kewaliannya berhasil merubah daerah Lingsar yang dulunya tandus menjadi subur dan memiliki sumber air yang berlimpah.
Versi lain mengatakan, tokoh yang dimaksud adalah Syekh K.H.Abdul Malik dan dua orang saudaranya, yaitu K.H.Abdul Rouf dan Hj. Raden Ayu Dewi Anjani yang berhasil merubah desa Lingsar yang gersang menjadi makmur. (Ahmad Sodli, Jurnal Analisa, 2010).
Sejarawan H. L. Azhar dalam bukunya Arya Banjar Getas mengatakan, tradisi Perang Topat pertama kali dicetuskan oleh raja Singasari Lombok untuk memperingati kemenangan Karangasem atas kerajaan Pejanggik pada tahun 1722 dan Selaparang pada tahun 1725.
Dalam pelaksanaannya, ritual Perang Topat selalu diiringi dengan upacara Pujawali oleh umat Hindu.
Rangkaian acara Perang Topat sangat beragam, meliputi Peresean, Pemasangan Abah-Abah, Pembuatan Kebon Odek, Haul Islami, Mendak Betara, Ngeliningan Kaoq, Hiburan Rakyat, dan pameran pusaka desa.
Pada hari pelaksanaan, seni dan budaya lokal seperti Melayangin, Beteteh, dan upacara Bukak Botol Momot turut memeriahkan acara.